BAB I
PENDAHULUAN
Laut merupakan salah satu sumber daya
alam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia melalui negara untuk memenuhi dan
mewujudkan kesejahteraan rakyat. Pada zaman dahulu laut dapat dimanfaatkan oleh
setiap Negara yang ingin memanfaatkannya, namun dengan adanya rezim hukum laut
menurut UNCLOS 1982 yang berisi berbagai peraturan dan pembatasan bagi setiap
Negara untuk memanfaatkan sumber daya alam berupa laut tersebut. Rezim hukum
laut tersebut terdiri dari
1. Laut territorial (territorial sea) sejauh 12 mil lait dari
garis pangkal (pasal 3 UNCLOS)
2. Zona Tambahan (contigurous zone) sejauh 24 mil laut.yang
diukur dari garis pangkal (pasal 33 ayat (2) UNCLOS)
3. Zone Ekonomi Eksklusif (Exclusive economic zone) sejauh
maksimal 200 mil laut yang diukur dari garis pangkal (pasal 57 UNCLOS)
4. Landas Kontinen (Continental Shelf) sejauh 200 mil laut
sampai dengan 350 mil laut atau sampai dengan 100 mil laut dari kedalaman
(isbobath) 2500m (pasal 76 ayat (4) sampai dengan ayat (6) UNCLOS)
5. Laut Lepas (high seas): Wilayah yang tidak termasuk ZEE,
laut territorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman (pasal 86 UNCLOS)
6. Kawasan (area) yaitu dasar laut dan dasar samudera serta
tanah dibawahnya diluar batas batas yurisdiksi nasional, sebagai, common
heritage.
7. Perairan kepulauan (archipelagic waters) khusus untuk Negara
kepulauan pasal 49 ayat 1 UNCLOS
8. Wilayah Pesisir yaitu sebagai wilayah peralihan atau pertemuan
antara wilayah darat dan laut.
Dengan adanya peraturan
rezim tersebut belum bisa diterapkan pada setiap Negara yang memiliki wilayah
tersebut, hal ini disebabkan oleh:
1. Faktor Historis, dimana suatu Negara menentukan batas
wilayah lautnya berdasarkan sejarah wilayah kerajaan di masa lampau, atau
berdasarkan penemuan wilayah baru oleh Negara tersebut.
2. Faktor ekonomi, menyangkut masalah devisa dari sumber daya
yang terdapat di laut tersebut.
3. Faktor geografis, dimana bentuk Negara tersebut terhimpit
oleh Negara lain yang mengakibatkan batas wilayah lautnya kabur.
Oleh sebab itu dalam
makalah ini kami akan membahas mengenai “Penyelesaian Sengketa Wilayah Maritim Indonesia vs Malaysia yang menyangkut laut
territorial,ZEE, dan landas kontinen”
B. Perumusan Masalah
1. Apakah yang menjadi penyebab sengketa Indonesia VS Malaysia
?
2. Apa dasar hukum yang mengatur ?
3. Bagaimana Penyelesaian Sengketa ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penyebab Sengketa Indonesia-Malaysia
Penyebab sengketa Indonesia- Malaysia khususnya sengketa
menganai pulau Sipadan-Ligitan. Mengapa pulau merupakan obyek sengketa kelautan
karena garis wilayah laut territorial diambil dari pulau-pulau terluar suatu
Negara. Sistem administrasi kedua pulau tersebut selama ini tidak jelas atau
kabur. Sementara dalam peraturan perundang-undangan Indonesia
sendiri kedua pulau tersebut tidak tercantum sebagai wilayah kedaulatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Padahal dalam ketentuan hukum internasional bila suatu Negara memiliki wilayah
atau mengklaim suatu wilayah harus terdapat bukti yang menunjukkan bahwa
sipadan ligitan masuk wilayah Indonesia,
bukti-bukti tersebut adalah:
a) Indonesia
mengklaim sipadan ligitan berdasarkan peta kerajaan nasional majapahit.
b)
Malaysia mengklaim kedua pulau tersebut berdasarkan
faktor kedekatan geografis.
c)
Sosial budaya di kedua pulau tersebut
d)
Sistem administrasi kependudukan.
Namun, ternyata dalam
prakteknya kehidupan di pulau Sipadan dan Ligitan lebih cenderung ke Malaysia,
hal itu ditunjukkan oleh:
1. Adanya
patok-patok wilayah perbatasan oleh Malaysia
2. Transaksi
dalam sehari-hari menggunakan mata uang ringgit yang merupakan mata uang Malaysia
3. Ternyata
penduduk sipadan ligitan tidak memiliki kartu tanda penduduk Indonesia
4. Bahasa
yang digunakan adalah melayu, bahkan ada yg sama sekali tidak bisa berbahasa Indonesia
5. Pembangunan
di kedua pulau tersebut lebih banyak dilakukan oleh Malaysia
Oleh
karena sebab-sebab tersebut diatas maka Malaysia mengklaim kedua pulau tersebut
sebagai miliknya, yang mana membuat pemerintah Indonesia kecolongan.
B. Dasar hukum wilayah maritim antara
Indonesia dan Malaysia
a. Persetujuan tentang Penetapan Garis Batas
Landas Kontinen antara Kedua Negara ditandatangani 27 Oktober 1969 di Kuala
Lumpur dan di ratifikasi dengan Keppres No.89/1969, LN 1979/54.
b. Perjanjian
tentang Penetapan Garis Batas Laut Teritorial kedua Negara di Selat Malaka yang
ditandatangani di Kuala Lumpur tanggal 17 Maret 1970 dan diratifikasi dengan UU
No. 211971, LN 1971/16.
c. Persetujuan antara RI, Malaysia dan Thailand
tentang Penetapan Garis-garis Batas Landas Kontinen di Bagian Utara Selat
Malaka, yang ditandatangani di Kuala Lumpur pada tanggal 21 Desember 1971 dan
diratifikasi dengan Keppres No. 20/1972, LN 1972115
C. Penyelesaian Sengketa
Setelah mengalami perdebatan yang sengit, akhirnya kedua
Negara tersebut bersepakat untuk membawa masalah tersebut ke Mahkamah
Internasional. Di mana berdasarkan fakta-fakta yang diajukan oleh kedua belah
pihak membuktikan fakta-faktanya sehingga akhirnya Malaysialah yang mampu
membuktikan bahwa secara administrasi Malaysia sudah menduduki pulau
tersebut.
Mahkamah Internasional
(International Court of Justice) telah memutuskan bahwa Malaysia memiliki kedaulatan atas
Pulau Sipadan-Ligitan. Pemerintah Indonesia menerima keputusan akhir
Mahkamah Internasional (MI). Kala itu, pada sidang yang dimulai pukul 10.00
waktu Den Haag, atau pukul 16.00 WIB, MI telah mengeluarkan keputusan tentang
kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan
Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16
hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim
itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan
Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia.
Kemenangan Malaysia,
berdasarkan pertimbangan effectivitee, yaitu pemerintah Inggris (penjajah
Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan
ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur
penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercusuar sejak 1960-an. Sementara itu,
kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta
penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu).
Di pihak yang lain, MI juga menolak argumentasi Indonesia
yang bersandar pada konvensi 1891, yang dinilai hanya mengatur perbatasan kedua
negara di Kalimantan. Garis paralel 14 derajat
Lintang Utara ditafsirkan hanya menjorok ke laut sejauh 3 mil dari titik pantai
timur Pulau Sebatik, sesuai dengan ketentuan hukum laut internasional pada
waktu itu yang menetapkan laut wilayah sejauh 3 mil.
Sesuai dengan kesekapatan
antara Indonesia-Malaysia tidak ada banding setelah keputusan ini. Sebab,
keputusan mahkamah ini bersifat final dan mengikat. Tentang tindak lanjut pasca
keputusan MI, menteri menyatakan, langkah pertama yang diambil adalah
merumuskan batas-batas negara dengan negara-negara terdekat. Untuk
Sipadan-Ligitan akan ditarik batas laut wilayah sejauh 12 mil dari lingkungan
dua pulau tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
a. Kasus sengketa tentang perebutan wilayah
pulau Sipadan-Ligitan oleh Malaysia
dan Indonesia telah
diselesaikan oleh Mahkamah Internasional dengan hasil keputusan pulau tersebut
jatuh pada Malaysia
dan didukung oleh fakta-fakta.
b. Kasus ini merupakan pembuktian bahwa salah satu cara
untuk menyelesaikan sengketa Internasional adalah melalui Mahkamah
Internasional